Cerai Karena Suami Berjudi
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran ketiga dari artikel dengan judul Gugat Cerai karena Suami Tak Mampu Menafkahi yang dibuat oleh Sigar Aji Poerana, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 22 September 2020, yang pertama kali dimutakhirkan pada Jumat, 24 Juni 2022, dan kedua kalinya pada 17 Februari 2023.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Gugat cerai karena suami tidak memberi nafkah adalah salah satu pertanyaan yang cukup banyak ditanyakan. Perlu kami jelaskan bahwa gugat cerai suami adalah langkah mengakhiri perkawinan yang dapat dilakukan oleh pihak istri.
Kami mengasumsikan bahwa perkawinan Anda tunduk pada hukum Islam. Oleh sebab itu, untuk menjawab pertanyaan Anda, kami merujuk pada UU Perkawinan dan perubahannya serta Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
Bicara soal perceraian, penting untuk diketahui bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak, dan untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri.[1]
Kemudian, dalam perkawinan secara Islam putusnya perkawinan karena perceraian dapat terjadi karena talak, yang dimohonkan oleh suami,[2] atau gugatan perceraian, yang diajukan oleh istri,[3] sebagaimana yang terjadi dalam kasus Anda.
Kapan Istri Bisa Gugat Cerai Suami?
Perceraian merupakan peristiwa yang tidak diinginkan semua orang. Namun, berdasarkan KHI, ada sejumlah alasan yang dapat menjadi alasan perceraian, salah satunya jika di antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga,[4] berikut ini sejumlah alasan yang dimaksud:
Jika Suami Tidak Mampu Menafkahi
Apa hukumnya jika suami tidak memberi nafkah lahir? Kami asumsikan nafkah lahir yang menjadi alasan gugat cerai suami adalah nafkah secara finansial. Jika suami melalaikan kewajiban memberi nafkah sebagaimana diterangkan sebelumnya, istri dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan untuk menuntut nafkah yang layak.[7]
Maka, mengenai pemberian nafkah yang layak, sebenarnya sudah tersedia upaya hukumnya, yaitu gugatan untuk menuntut nafkah, dan tidak serta merta harus menempuh langkah perceraian. Langkah ini dapat ditempuh dalam proses mediasi di pengadilan sebelum putusan perceraian dilakukan.
Meskipun dalam alasan perceraian yang kami jelaskan di awal artikel ini ketidakmampuan memberi nafkah bukan merupakan salah satu alasan perceraian, namun dalam praktiknya, tidak adanya nafkah lahir/finansial kepada istri dapat membuat hubungan suami istri tidak harmonis dan terjadi pertengkaran antara keduanya. Hal ini kemudian dapat dijadikan alasan perceraian.
Jika Istri Menggugat Cerai Apakah Dapat Harta Gono-gini?
Menjawab pertanyaan Anda tentang harta gono-gini, harta gana-gini atau yang umumnya dikenal sebagai harta gono-gini diatur dalam Pasal 97 KHI. Pasal tersebut menerangkan bahwa janda atau duda cerai, masing-masing berhak seperdua (setengah) dari harta bersama sepanjang tidak ditentukan dalam perjanjian perkawinan.
Jadi, sepanjang tidak ada harta bersama yang ditentukan dalam sebuah perjanjian perkawinan, istri yang menggugat cerai suami tetap berhak atas separuh atau setengah harta bersama.
Namun, sekali lagi kami tekankan bahwa Anda dapat mengupayakan gugatan menuntut nafkah tanpa perceraian sebagaimana diterangkan.
Demikian jawaban dari kami terkait gugat cerai suami sebagaimana ditanyakan, semoga bermanfaat.
[4] Pasal 116 huruf f KHI
[5] Pasal 30 UU Perkawinan
[6] Pasal 34 ayat (1) UU perkawinan
[7] Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan jo. Pasal 77 ayat (5) KHI
Assalamualaikum. wr. wb.. Mohon pencerahan ustadz ttg hukum istri yg durhaka kpd suami dan ttg hukum istri yg minta cerai krn suaminya berpenghasilan kecil.
Tolong minta referensi, afwan. Syukron ustadz… wassalamualaikum. wr. wb…
Wa’alaikumsalam warohmatullohi wabarokatuh..
Hukum istri yang durhaka atau dalam istilah syari’at dikenal dengan istilah Nusyuz. Yang dimaksud Nusyuz yaitu istri durhaka kepada suami dalam perkara ketaatan pada suami yang Allah wajibkan, dan pembangkangan ini telah menonjol.
Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Nusyuz adalah meninggalkan perintah suami, menentangnya dan membencinya.” (Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 4: 24).
Menurut ulama Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanbaliah berpendapat bahwa nusyuz adalah keluarnya wanita dari ketaatan yang wajib kepada suami. (Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 40: 284).
Ringkasnya, nusyuz adalah istri tidak lagi menjalankan kewajiban-kewajibannya.
Hukum Nusyuz Nusyuz wanita pada suami adalah haram. Wanita yang durhaka (nusyuz) yang tidak lagi mempedulikan nasehat, maka suami boleh memberikan hukuman. Dan tidaklah hukuman ini diberikan melainkan karena melakukan yang haram atau meninggalkan yang wajib. Mengenai hukuman yang dimaksud disebutkan dalam ayat,
“Wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka mentaatimu, maka janganlah kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (Qs. An Nisa’: 34).
Untuk pertanyaan yang kedua perihal hukum istri yang minta cerai dikarenakan gaji yang kecil, Perlu diketahui beberapa hal berikut:
1. Suami berkewajiban memberi nafkah semampunya Anda jangan keburu protes kepada suami ketika posisi Anda dan keluarga “kelihatannya belum semapan tetangga”, uang belanja masih kurang, belum sempat beli baju baru, tidak bisa jalan-jalan ke shopping center, tidak ada rekreasi, belum dapat perawatan kulit, belum ngasih kiriman ke orang tua, dan seabrek keinginan Anda untuk menuju bahagia. Sayangnya, gaji suami Anda sebulan tidak cukup. Kalau dipakai untuk itu semua, paling-paling, cuma seminggu sudah habis.
Jangan buru-buru, sikapi itu dengan hati dingin dan pasrah kepada yang Kuasa. Suami Anda tidak dibebani tanggung jawab yang lebih dari batas kemampuannya. Semoga Alloh akan segera memberikan kemudahan bagi keluarga Anda. Allah subhanahu wata’ala berfirman,
لِيُنْفِقْ ذُو سَعَةٍ مِنْ سَعَتِهِ وَمَنْ قُدِرَ عَلَيْهِ رِزْقُهُ فَلْيُنْفِقْ مِمَّا آتَاهُ اللَّهُ لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا مَا آتَاهَا سَيَجْعَلُ اللَّهُ بَعْدَ عُسْرٍ يُسْرًا
“Orang yang mampu hendaklah memberi nafkah menurut kemampuannya, dan orang yang disempitkan rezekinya hendaklah memberi nafkah dari harta yang diberikan Allah kepadanya. Allah tidak memikulkan beban kepada seseorang melainkan sekadar kemampuan yang Allah berikan kepadanya. Allah, kelak, akan memberikan kelapangan sesudah kesempitan.” (Qs. Ath-Thalaq: 7)
Sebenarnya, permasalahannya bisa kita paksa untuk disederhanakan. Ketika kita menyadari bahwa penghasilan atau gaji suami belum cukup untuk mewujudkan konsep “hidup bahagia” yang ideal menurut anda, segera ambil tindakan skala prioritas. Tidak semua keinginan anda bisa terpenuhi dengan gaji Suami. Dahulukan yang paling penting, kemudian yang penting. Kebutuhan yang sekiranya bisa ditahan, mungkin belum saatnya diwujudkan sekarang. Bersabarlah, perbanyak memohon kepada Alloh kemudahan hidup, sambil sedikit mencoba menabung untuk mewujudkan cita yang anda harapkan.
2. Perceraian perkara yang diharap dan disenangi iblis Barangkali, hadits berikut bisa membuat anda sangat menyesal jika harus bercerai. Disebutkan dalam hadis sahih dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhu, Nabi ‘alaihish shalatu was salam bersabda,
إِنَّ إِبْلِيسَ يَضَعُ عَرْشَهُ عَلَى الْمَاءِ ثُمَّ يَبْعَثُ سَرَايَاهُ فَأَدْنَاهُمْ مِنْهُ مَنْزِلَةً أَعْظَمُهُمْ فِتْنَةً يَجِىءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ فَعَلْتُ كَذَا وَكَذَا فَيَقُولُ مَا صَنَعْتَ شَيْئًا قَالَ ثُمَّ يَجِىءُ أَحَدُهُمْ فَيَقُولُ مَا تَرَكْتُهُ حَتَّى فَرَّقْتُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ امْرَأَتِهِ – قَالَ – فَيُدْنِيهِ مِنْهُ وَيَقُولُ نِعْمَ أَنْتَ
“Sesungguhnya, singgasana iblis berada di atas laut. Dia mengutus para pasukannya. Setan yang paling dekat kedudukannya adalah yang paling besar godaannya. Di antara mereka, ada yang melapor, ‘Saya telah melakukan godaan ini.’ Iblis berkomentar, ‘Kamu belum melakukan apa-apa.’ Datang yang lain melaporkan, ‘Saya menggoda seseorang, sehingga ketika saya meninggalkannya, dia telah bepisah (talak) dengan istrinya.’ Kemudian, iblis mengajaknya untuk duduk di dekatnya dan berkata, ‘Sebaik-baik setan adalah kamu.’” (HR. Muslim, no. 2813)
Pada dasarnya, talak adalah perbuatan yang dihalalkan. Akan tetapi, perbuatan ini disenangi iblis karena perceraian memberikan dampak buruk yang besar bagi kehidupan manusia. Betapa banyak anak yang terlantar, tidak merasakan pendidikan yang layak dikarenakan broken home. Bisa jadi, dia akan disiapkan iblis untuk menjadi bala tentaranya. Bahkan, salah satu dampak negatif sihir yang disebutkan oleh Alloh subhanahu wata’ala dalam Alquran adalah memisahkan antara suami dan istri. Allah berfirman,
فَيَتَعَلَّمُونَ مِنْهُمَا مَا يُفَرِّقُونَ بِهِ بَيْنَ الْمَرْءِ وَزَوْجِه
“Mereka belajar dari keduanya (Harut dan Marut) ilmu sihir yang bisa digunakan untuk memisahkan seseorang dengan istrinya.” (Qs. Al-Baqarah: 102)
Secara khusus, bagi pihak istri, jangan bermudah-mudah minta cerai hanya karena kesulitan ekonomi yang anda alami. Mulailah banyak melihat orang-orang yang mungkin jauh lebih sulit dari pada kita, mudah-mudahan bisa menjadikan kita lebih bersyukur, dan jangan lupa senantiasa meningkatkan ketakwaan dan rasa tawakkal kita kepada Alloh subhanahu wata’ala. Renungkan hadits-hadits berikut, semoga Anda akan sedikit merinding untuk sampai hati mengajukan gugat cerai kepada suami Anda.
Dari Tsauban radhiallahu ‘anhu, bahwa Nabi shollallohu ‘alaihi wasallam bersabda,
أَيُّمَا امْرَأَةٍ سَأَلَتْ زَوْجَهَا الطَّلاَقَ فِى غَيْرِ مَا بَأْسٍ فَحَرَامٌ عَلَيْهَا رَائِحَةُ الْجَنَّةِ
“Wanita mana pun yang meminta suaminya untuk menceraikannya, tanpa ada alasan yang dibenarkan, maka dia diharamkan mencium bau surga.” (H.R. Ahmad dan Ibnu Majah, dinilai sahih oleh Syu’aib Al-Arnauth)
Dalam riwayat yang lain, Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الـمُخْتَلِعَاتُ هُنَّ الـمُنَافِقَاتُ
“Wanita yang suka meminta cerai (tanpa alasan yang benar), merekalah para wanita munafik.” (H.R. Ahmad dan Turmudzi; dinilai sahih oleh Al-Albani)
Akan tetapi, tunggu, jangan salah paham dulu. Hadits di atas bukanlah melegalkan sikap suami untuk tidak memenuhi hak istrinya. Bagi Anda, para istri yang tidak mendapat hak nafkah dari suami, Anda berhak menuntut suami untuk menunaikan kewajibannya. Namun, sekali lagi, itu belum tepat saatnya Anda minta cerai.
3. Potret rumah tangga Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam Sebagai pemungkas, mari kita simak kemesraan kelurga Nabi shollallohu ‘alaihi wa sallam di tengah himpitan ekonomi yang mereka alami. Berikut ini kesaksian sejarah dari mereka yang pernah sezaman dengan manusia paling mulia di dunia ini.
اللهم اجعل رزق آل محمد قوتا
Ya Allah, jadikanlah rezeki untuk keluarga Muhammad adalah sebatas untuk kebutuhan pokoknya.” (H.R. Muslim dan Turmudzi)
Yang mengagumkan, tidak ditemukan riwayat yang menyebutkan kasus perceraian beliau dengan para istri beliau, disebabkan himpitan ekonomi dan kemiskinan yang beliau alami.
Wallohu’alam bis showab.
BincangSyariah.Com – Kehidupan keluarga yang bahagia serta harmonis merupakan harapan atau keinginan siapapun yang akan dan telah menjalani kehidupan pernikahan. Setiap pasangan suami istri mendambakan kehidupan rumah tangga yang tenteram, damai dan bahagia.
Kebahagiaan pernikahan tersebut tidak akan terbangun kecuali hak dan kewajiban pasangan tersebut saling terpenuhi. Terkait dengan kewajiban suami terhadap istri misalnya, suami wajib menunaikan hak materi berupa mahar dan nafkah materi, maupun hak non-materi istri seperti memberikan nafkah batin serta berlaku adil terhadapnya. Ini seperti disebutkan Syekh Wahbah Az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqh al-Islāmī wa Adillatuhū (j. 9 h. 6832),
للزوجة حقوق مالية وهي المهر والنفقة، وحقوق غير مالية: وهي إحسان العشرة والمعاملة الطيبة، والعدل.
“bagi istri terdapat beberapa hak yang bersifat materi berupa mahar dan nafaqoh dan hak-hak yang bersifat non materi seperti memperbagus dalam menggauli dan hubungan yang baik serta berlaku adil.”
Ketika hak-hak dan kewajiban dalam rumah tangga tidak terpenuhi maka akan berakibat kepada keretakan rumah tangga itu sendiri, dan yang terburuk adalah mengakibatkan pernikahan tersebut menjadi berakhir dengan perceraian.
Pada prinsipnya, agama tidak menghendaki (meski tidak melarang) terjadinya perceraian setelah terjadi sebuah pernikahan. Namun, jika ada sekian faktor – termasuk tidak mampu menafkahi – yang menunjukkan kalau perceraian bagi pasangan yang menjadi kehidupan rumah tangga adalah jalan terbaik, maka agama memiliki penjelasan tentang fikih perceraian tersebut. Perceraian dibagi menjadi dua yaitu: furqotu talaq (perceraian talaq), yaitu suami mentalak istri dan furqotu faskhin (cerai gugat), dimana istri menggugat cerai suami di hadapan pengadilan. Salah satu faktor yang dibenarkan agama untuk melakukan faskh adalah kondisi jatuh miskinnya seorang suami (mu’sir) dan ia tidak lagi mampu menafkahi istrinya. Ini seperti disebutkan dalam kitab I’anatu at-Thalibin ‘ala Hill Alfāẓ Fath al-Mu’īn (j. 4 h. 98) dan Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb (j. 2 h. 147),
فرع في فسخ النكاح: وشرع دفعا لضرر المرأة يجوز (لزوجة مكلفة) أي بالغة عاقلة لا لولي غير مكلفة (فسخ نكاح من) أي زوح (أعسر) مالا وكسبا لائقا به حلالا (بأقل نفقة) تجب وهو مد (أو) أقل (كسوة) تجب كقميص وخمار وجبة شتاء
“sebuah cabang pembahasan di dalam penjelasan faskh nikah: faskh disyariatkan guna mencegah doror (bahaya) seorang istri dan faskh boleh dilakukan bagi istri yang baligh, berakal terhadap suami yang melarat akibat tidak memiliki harta, atau pekerjaan yang layak serta halal yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi (pangan), yaitu setidaknya satu mud. Atau tidak memiliki harta yang paling sedikit untuk kewajiban menafkahi sandang-nya istri, seperti gamis, kerudung, atau jubah untuk musim dingin.” (I’anatu at-Ṭālibīn, j. 4 h. 98)
وَلَا ” فَسْخَ ” قَبْلَ ثُبُوتِ إعْسَارِهِ ” بِإِقْرَارِهِ أَوْ بِبَيِّنَةٍ ” عِنْدَ قَاضٍ ” فَلَا بُدَّ مِنْ الرَّفْعِ إلَيْهِ ” فَيُمْهِلُهُ ” وَلَوْ بِدُونِ طَلَبِهِ ” ثَلَاثَةَ أَيَّامٍ ” لِيَتَحَقَّقَ إعْسَارُهُ وَهِيَ مُدَّةٌ قَرِيبَةٌ يُتَوَقَّعُ فِيهَا الْقُدْرَةُ بِقَرْضٍ أَوْ غَيْرِهِ.
“tidak ada (boleh) faskh sebelum penetapan melaratnya suami dengan pengakuan dari dirinya atau dengan adanya bukti di hadapan Qadhi’ (pengadilan). Maka harus dilaporkan kepada Qadhi terlebih dahulu. Kemudian Qadhi’ memberi tenggang waktu kepada suami selama tiga hari, sekalipun dengan tanpa permintaannya, agar nyata kemelaratan dari suami tersebut dan itu waktu yang sebentar yang mana kemampuan ditangguhkan dengan cara mencari pinjaman atau selainnya.” (Fath al-Wahhāb bi Syarh Manhaj at-Ṭullāb, j. 2 h. 147),
Dari dua penjelasan ulama diatas, menurut hemat penulis walaupun menggugat cerai seorang istri diperbolehkan kepada suami karena jatuh miskin, namun hal ini tidak melulu dipandang dengan akal yang pendek. Oleh karena itu syariat memberikan opsi tatkala suami dalam keadaan jatuh miskin, hendaknya istri bersabar (jika bisa), dan boleh bagi istri untuk kerja mencari nafkah keluarga tatkala suami sudah tidak bisa memenuhi kebutuhan rumah tangga. Artinya, perceraian bukan satu-satunya jalan yang bisa ditempuh. Meskipun hal ini bukan menafikan bahwa istri boleh saja menggugat cerai suami ketika jatuh miskin.
Kewajiban Suami Memberikan Nafkah yang Layak
Alasan yang dicetak tebal atau poin f tersebut mungkin bisa menggambarkan kondisi Anda saat ini. Kemudian, selain sejumlah alasan yang diterangkan, penting pula diketahui bahwa suami memiliki kewajiban untuk memberikan istrinya nafkah yang layak.
Suami istri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.[5] Salah satu kewajiban suami adalah melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.[6]
Selain itu, kewajiban ini juga ditegaskan dalam Pasal 80 ayat (4) KHI yang menerangkan:
sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
Nyatanya, suatu perkawinan menimbulkan hubungan keperdataan antara suami dengan istri yang kemudian melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pihak. Dengan kata lain, jika suami tidak memberikan nafkah yang layak untuk istri, maka ia dapat dikatakan telah melakukan wanprestasi.